Siklus properti belakangan ini tampak tak seperti biasanya. Saat 2016 silam, properti yang diramalkan kembali bangkit, ternyata tak kunjung menunjukkan perbaikan. Sejumlah pengamat menganggap itu sebagai suatu shock therapy bagi bisnis properti Indonesia. Soalnya, jika merujuk siklus properti lima tahunan, harusnya tahun lalu properti sudah mengalami perbaikan. Tapi kenyataannya belum. Sekalipun ada, hanya sedikit sekali.
Vivin Harsanto, Head of Advisory Jones Lang Lasalle (JLL) pada konferensi pers minggu lalu menyatakan, selama kurun waktu satu tahun terakhir, penyerapan properti belum bisa dikatakan baik. Peningkatannya minim, atau dalam kata lain stagnan.
Namun, pada kuartal satu 2017, ia menyebut, properti sudah menunjukkan sedikit perbaikan. Hal ini bisa diamati dari meningkatanya penjualan apartemen-apartemen kelas menengah dan menengah bawah di daerah Bekasi dan Cikarang.
“Sebagian besar kalau kita lihat, penyerapan ada pada segmen menengah dan menengah bawah. Mengapa? Karena pasar inilah yang masih bisa terserap pasar. Sementara segmen menengah atas, penyerapanya belum bisa dikatakan baik. Makanya, kalau dilihat daerah Tangerang itu, penjualannya sedikit menurun. Karena di sana kebanyakan harganya sudah di atas 1 miliar,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kata ia, jika melihat perkembangan properti di kawasan Tangerang dan Jakarta Barat, trennya kini semakin “menciut”. Pengembang-pengembang mulai memangkas luasan propertinya supaya bisa terserap pasar.
“Karena pasar saat ini memang belum bisa menyerap segmen-segmen atas. Makanya, banyak pengembang yang mulai mengoreksi luasan propertinya supaya bisa terserap pasar. Itu sikap realistis dari pengembang saya pikir,” katanya.
Lebih jauh, meski dengan kondisi seperti demikian, Vivin tetap yakin bahwa properti tahun ini bisa kembali bangkit. “Indikasinya, ada pada pertumbuhan infrastruktur dan pergerakan makro ekonomi Indonesia yang sudah semakin baik,” tutupnya.