Ketika membicarakan pajak hibah keluarga, apa yang Anda pahami? Sudah mengetahui dengan baik hibah mana yang dikenai pajak dan tidak? Simak di sini panduannya!
Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya Anda memahami dulu apa sih arti hibah yang sebenarnya.
Ini adalah syarat utama yang sangat penting untuk dipahami agar tak terjadi salah kaprah di kemudian hari.
Pasalnya, ada hibah tanah yang dikenai pajak dan ada pula yang tak dikenai pajak hibah tanah.
Selain itu, aturan pajak hibah tanah dan BPTHB juga tidak berlaku pada semua anggota keluarga.
Nah, lebih jelasnya langsung saja simak pada penjelasan di bawah ini ya!
Pengertian Hibah dan Kaitannya dengan Pajak Hibah Tanah
Pengertian hibah secara sederhana yakni pemberian dari seseorang kepada orang lain semasa ia hidup.
Sayangnya, arti hibah ini seringkali bersilang sengkarut dengan pengertian warisan.
Padahal, meskipun keduanya serupa tetapi sebetulnya tak sama.
Alasannya yakni karena hibah adalah objek pajak yang akan dikenai pajak.
Hibah harus dilakukan oleh pemberi hibah (penghibah) dengan penerima hibah selama keduanya masih hidup.
Nah, aturan hukum mengenai hibah ini telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Lebih jauhnya, aturan hibah dan pajak hibah dijelaskan dalam Pasal 1666 hingga Pasal 1693 yang berbunyi:
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Aturan Pajak Hibah Berbeda-beda
Sebetulnya, tak semua jenis hibah dikenai pajak. Khusus hibah antar keluarga aturannya berbeda-beda.
Perihal bahasan ini, kita akan mengacu pada peraturan perundang-undangan Indonesia.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh 1984 [Amandemen 2008] beberapa jenis hibah yang tak termasuk objek pajak yaitu:
- Hibah dalam bentuk bantuan atau sumbangan, seperti misalnya zakat.
- Hibah dalam bentuk harta yang diterima oleh keluarga sedarah di garis keturunan lurus sederajat.
Peraturan tersebut diperjelas dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 mengenai penerima hibah yang tak kena pajak, yang berbunyi:
“Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:
- Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat seperti orang tua dan anak kandung;
- Badan keagamaan;
- Badan pendidikan;
- Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi;
- Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.”
Kelima golongan tersebut ketika menerima hibah maka tak akan mendapatkan pajak hibah.
Namun, kelima golongan tersebut juga mungkin dikenai pajak jika keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Baca Juga:
Tetangga Mengambil Air Tanpa Izin? Ini Hukum Mencuri Air yang Harus Diketahui!
Pemberi Hibah Bisa Dikenakan PPh Apabila…
Selanjutnya, pemberi hibah akan terkena pajak (PPh) apabila tak memenuhi syarat di atas.
Misalnya, hibah diberikan antara kakak kepada adik atau paman dan bibi kepada keponakan.
Mengenai aturan PPh-nya pun terdapat dalam PP No. 34 Tahun 2016 khususnya dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) PP 34/2016.
Berapa besaran PPh yang harus dibayar?
Dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 huruf a bahwa PPh pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pengecualian dapat berlaku sesuai Pasal 6 huruf a PP No. 34 Tahun 2016 yang berbunyi:
“Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah”.
Penerima Hibah Kena BPHTB
Kalau di poin sebelumnya dijelaskan bahwa pemberi hibah dikenakan PPh, nyatanya penerima hibah juga akan dikenakan pajak.
Pajak tersebut yakni Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Di dalam pasal 1 angka 41 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dijelaskan bahwa:
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Lalu, berkaitan dengan aturan BPHTB hibah dijelaskan dalam UU yang sama, tepatnya Pasal 85 ayat (2) huruf a angka 3.
Bagaimana dengan besaran nilai BPHTB yang harus dibayarkan?
Perlu Anda pahami bahwa BPHTB paling tinggi adalah 5% dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah (Perda).
Lebih jelasnya tertera pada Pasal 88:
“(1) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”
Baca Juga:
Awas, Mencuri Saat Terjadi Bencana Bisa Dijerat Pasal Pencurian Berat!
Contoh Surat Hibah Tanah
Seperti apa contoh surat hibah tanah yang biasa dipakai?
Berikut ini contoh umum surat hibah tanah yang bisa Anda tiru:
Sumber: contohsuratindonesia.com
***
Semoga artikel ini bisa membantu ya, Sahabat 99!
Daripada disimpan dan dibaca sendiri, mending share artikel ini ke media sosial yuk.
Jangan lupa, baca berita properti menarik lainnya hanya di 99.co Indonesia ya.
Ingin cari properti? Pastikan untuk mencarinya di www.99.co/id.