Pada masa rezim Orde Baru, Pulau Buru dipilih sebagai tempat pembuangan tahanan politik yang terlibat dengan peristiwa G30S/PKI.
Di sana, para tahanan politik tidak ditahan di dalam sel maupun rumah pengasingan, melainkan dilepas begitu saja untuk membuka lahan sendiri tanpa bantuan alat.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, menjadi salah satu tahanan yang dibuang ke Kepulauan Maluku.
Tokoh yang akrab disapa Pram tersebut menceritakan kisahnya menjadi tahanan politik melalui sebuah buku berjudul “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu”.
Buku yang ditulis sampai dua jilid tersebut sejatinya merupakan memoar pengalaman pribadi Pram berjuang di pulau tersebut.
Jilid I bercerita tentang pengalaman Pram, sedangkan jilid berikutnya berisi tentang persuratan Pram dengan ketiga anaknya.
Makalah Konferensi Sejarah Nasional berjudul “Tujuh Buku Memoar tentang Pulau Buru” yang ditulis oleh Dr. Zeffry Alkatiri, menyebutkan bahwa tahanan politik lainnya turut memberikan catatan pribadi mereka kepada Pram.
Kisah Pulau Buru Tempat Pembuangan Tahanan PKI
Pulau Buru baru ditempati oleh tahanan politik PKI pada tahun 1969, setelah sebelumnya ditahan di Nusa Kambangan.
Mereka dibuang ke Pulau Buru lantaran Nusa Kambangan tak sanggup menampung ribuan tahanan politik.
Bulan Agustus tahun itu, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, menjadi gelombang pertama pembuangan ribuan tahanan politik.
Pada saat itu, Pram berpikiran bahwa kehidupan di Pulau Buru akan lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di Nusa Kambangan.
Selain karena penjara yang sempit, alasan pembuangan tersebut juga didasari oleh program pemerintah, yakni keputusan Presiden Soeharto No.16 Tahun 1969.
Keppres tersebut berisi pembentukan Komando Operasi Pemulihan Pertahanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas memulihkan keamanan setelah peristiwa G30S/PKI.
Merujuk pada buku Heri Setiawan, Pulau Buru didominasi oleh tahanan politik golongan B yang jumlahnya mencapai 12.000 orang.
Tahanan politik PKI dibagi ke dalam tiga golongan, yakni:
- Golongan A: mereka yang terlibat langsung dan dihukum mati
- Golongan B: hasil seleksi dari golongan A
- Golongan C: orang-orang yang dianggap sebagai kader PKI yang ikut-ikutan
Pulau Buru dipilih karena beberapa alasan. Pertama, menimbang lokasinya yang jauh dari suhu politik ibu kota.
Kedua, membantu meringankan beban keuangan pemerintah demi menyukseskan program Pelita.
Ketiga, meneruskan pembangunan pemerintah sejak tahun 1954 yang memfokuskan kepada bendungan irigasi pertanian.
Selang enam hari kedatangan, Pram bercerita bahwa ia dan tahanan politik lainnya bekerja membersihkan rumput hanya dengan menggunakan tangan.
Nantinya, lahan yang dibersihkan dibentuk menjadi areal persawahan sebagai bekal hidup.
Tak hanya itu saja, mereka bekerja membuka membuka hutan dan membuat jalan.
Menurut Pram, Pulau Buru sangat tidak layak huni sebab tak ada hasil hutan yang dapat dimakan dan gunungnya pun gersang.
***
Semoga artikel ini bermanfaat ya, Sahabat 99!
Simak informasi menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Sedang mencari rumah dijual di Alang Alang Lebar, Palembang?
Kunjungi www.99.co/id dan temukan hunian impianmu dari sekarang!