Ada banyak kisah menarik di balik sosok Letnan Jenderal Hoegeng yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Khususnya saat ia dicopot dari jabatannya oleh Soeharto kala itu.
Sosok Hoegeng dikenal luas oleh masyarakat sebagai polisi paling jujur, bahkan pernah disebut oleh Gus Dur dalam anekdotnya:
“Ada tiga polisi jujur di Indonesia. Mereka yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” – Gus Dur
Bahkan berkat kejujurannya, pria dengan nama lengkap Hoegeng Imam Santoso itu mendapat rekor MURI sebagai polisi paling jujur sedunia.
Penghargaan tersebut diberikan pada tahun 2015 silam kepada sang istri yang sudah menginjak usia ke-90 tahun.
Selama menjabat sebagai Kapolri di masa pemerintahan Soeharto, Hoegeng memang sudah tidak sejalan dan bahkan ikut serta dalam Petisi 50 untuk menentang kediktatoran Soeharto.
Lantas bagaimana bisa Hoegeng berakhir dipecat oleh Soeharto? Melansir dari merdeka.com, inilah kisah Jenderal Hoegeng…
Pencopotan Jenderal Hoegeng dari Jabatan Kapolri
Sejak pertama kali mau dilantik sebagai Kapolri, Hoegeng memang sudah tidak cocok dengan Soeharto.
Pada tahun 1968, Hoegeng menghadap Soeharto. Soeharto meminta agar polisi tidak lagi bertugas di medan tempur.
Dulu, Brigade Mobil Polri memang terjun bersama TNI di berbagai pertempuran seperti Trikora di Papua hingga Dwikora di pedalaman Kalimantan.
Apa jawaban Hoegeng kepada Soeharto?
“Kalau begitu angkatan lain juga jangan mencampuri tugas angkatan kepolisian,” kata Hoegeng tegas.
Soeharto terdiam mendengarnya. Demikian ditulis dalam buku “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa”.
Gerak-gerik Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana mulai terusik, apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto.
Di puncak perseteruan, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri pada 2 Oktober 1971 dengan alasan penyegaran.
Padahal Hoegeng baru tiga tahun menjabat dan seharusnya masih ada sisa dua tahun masa jabatan.
Hoegeng menghadap Soeharto , dia menanyakan alasan pencopotan tersebut. Secara tersirat Soeharto berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi.
Dengan tegas Hoegeng menjawab, “Ya sudah. Saya keluar saja,” balasnya.
Soeharto menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain.
Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. Hoegeng pun menolaknya.
“Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail,” sindir Hoegeng.
Banyak pihak menduga ada motif politik di balik pencopotan Hoegeng, apalagi mengingat ia merupakan sosok polisi yang jujur.
Ada beberapa penyebab yang memicu aksi pencopotan tersebut, yakni penyelundupan mobil mewah yang dilakukan oleh Robby Tjahjahdi.
Di balik penyelundupan tersebut, diduga ada keterlibatan kroni keluarga Cendana.
Selain itu juga ada kasus pemerkosaan penjual telur di Yogyakarta bernama Sumarijem yang diduga melibatkan anak seorang pejabat dan pahlawan revolusi.
Presiden Soeharto diketahui sampai turun tangan menghentikan kasus tersebut dan memerintahkan agar ditangani oleh Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib.
***
Semoga artikel ini bermanfaat ya, Sahabat 99!
Simak informasi menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Sedang mencari rumah dijual di Tanah Abang?
Kunjungi www.99.co/id dan temukan hunian impianmu dari sekarang!