Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, di tahun 2014, angka backlog atau kekurangan kebutuhan rumah terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), mencapai jumlah sebanyak 13,5 juta unit.
Keterbatasan lahan yang tersedia di perkotaan mengakibatkan jumlah rumah yang terbatas dan harganya yang tidak terjangkau.
Hal itu membuat sejumlah orang menunda atau bahkan berhenti untuk mewujudkan impiannya memiliki rumah.
Satu dari sekian banyak orang yang harus mengalami hal pahit tersebut adalah Sugara Yoppindra.
Ia adalah seorang mantan pekerja di salah satu stasiun televisi nasional yang memilih untuk tidak terlalu memikirkan soal kepemilikan rumah.
Pria yang akrab disapa Yoppi ini mengaku menunda minat untuk memiliki hunian agar mampu memenuhi kebutuhan lain.
“Prioritas utama gue saat ini untuk modal nikah dulu. Belum terpikir untuk membeli rumah sih sampai sekarang,” ujar Yoppi (14/12/2020) yang dikutip dari laman tirto.id.
Yoppi bukanlah satu-satunya orang yang mengubur mimpinya untuk memiliki hunian.
Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman, BPS 2019, jumlah keluarga di Indonesia yang memiliki rumah sebesar 80,07 persen.
Ini berarti mereka yang masih menyewa rumah, menumpang pada kerabat, bahkan hidup nomaden memiliki persentase sekitar 20 persen.
Selain keterbatasan lahan dan harganya yang terus meningkat, pendapatan masyarakat yang mengalami penurunan di masa pandemi Covid-19 juga membuat minat untuk membeli rumah kian menurun.
Dalam survei tersebut juga menunjukkan masyarakat Indonesia dari segala kelompok mengalami penurunan pendapatan.
Dari sekian banyak kelompok, masyarakat dengan pendapatan kurang dari Rp1,8 juta adalah yang paling terdampak.
Dapatkah Bank Tanah Menjadi Solusi Permasalahan Keterbatasan Lahan Perumahan?
Berbicara mengenai kebutuhan manusia akan tempat tinggal, saya jadi teringat serial drama Korea berjudul “Monthly Magazine Home” (2021).
Serial drama ini bercerita tentang dua orang yang memiliki perspektif berbeda soal rumah.
Bagi Yu Ja‑seong, seorang investor di drama ini, rumah hanyalah sekadar properti dan investasi.
Namun bagi pekerja seperti Na Young‑won, rumah adalah tempat di mana ia bernaung, beristirahat, dan merasa nyaman.
Hal itu senada dengan apa yang diucapkan penulis Sydney Smith: “rumah yang nyaman adalah sumber kebahagiaan yang besar, setelah kesehatan dan hati nurani yang baik.”
Na Young‑won bahkan tidak ambil pusing jika tempat yang ia huni bukanlah rumah miliknya. Meski rumah sewaan, ia merancang huniannya agar nyaman dan menyenangkan.
Pasalnya, ketersediaan lahan serta upah yang terbatas membuat pekerja seperti Yoppi atau Na Young‑won lebih berpikir realistis dan melepas impiannya untuk memiliki rumah.
Selain mereka, ada juga kisah Tri Adhitia Diantomo yang dilaporkan thejakartapost.com dalam artikelnya berjudul “Underprivileged Millennials. Being Young and Poor in Jakarta”.
Pria yang akrab disapa Adit ini bekerja enam hari dalam seminggu sebagai sopir di agen pengiriman. Dalam sebulan, ia mengantongi upah sebesar Rp1,5 juta saja.
Bagaimana dengan tempat tinggal Adit?
Sejak lahir ia bersama sembilan kerabatnya tinggal di sebuah rumah kecil dengan satu kamar tidur berukuran sekitar 25 meter persegi yang berlokasi di Kampung Muka, Jakarta Utara.
Meski Adit tidak mengeluhkan tempat tinggalnya, tetapi hunian tersebut sangat jauh dari kata layak.
Belum lagi penghasilannya bisa dibilang sangat pas-pasan untuk hidup di kota besar seperti Jakarta. Rasanya sangat sulit bagi Adit untuk membeli rumah.
Melihat permasalahan ini, pemerintah pun memberikan solusi lewat hadirnya Bank Tanah.
Menurut Dirjen Perumahan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Khalawi Abdul Hamid, Bank Tanah hadir untuk memudahkan MBR memiliki hunian.
Data Susenas 2019 menunjukkan banyak masyarakat di daerah perkotaan memperoleh bangunan tempat tinggal dengan membeli dari pengembang karena terbatasnya lahan.
“Hal ini menggambarkan bahwa tanah di daerah perkotaan masih terbatas dan terlalu mahal, sehingga dibutuhkan intervensi dari Bank Tanah untuk memberikan kemudahan akses masyarakat memiliki lahan untuk perumahan, terutama MBR,” jelasnya kepada 99.co Indonesia, Jumat (18/6/2021).
Sementara itu, Plt Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto mengatakan kalau Bank Tanah berperan tak hanya untuk kebutuhan hunian MBR tetapi juga pembangunan dan sosial.
“Bank Tanah mengapa dibentuk, karena saat ini pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN perannya dalam pertanahan dan tata ruang bersifat administratif dan regulator saja,” papar Himawan Arief Sugoto, Jumat (18/6/2021).
Menurut Himawan, negara harus bisa mengatur permasalahan seputar tanah seperti banyak tanah telantar, tanah yang haknya habis, tanah negara yang bebas, dan lainnya.
Kehadiran Bank Tanah bagi Pertumbuhan Perumahan & Ekonomi Masyarakat
Khalawi menambahkan, hingga saat ini belum pernah dilakukan audit mengenai ketersediaan tanah.
“Sampai saat ini belum pernah dilakukan audit ketersediaan tanah untuk lahan perumahan, sehingga belum ada data yang benar-benar valid terkait dengan backlog lahan perumahan,” ungkapnya.
Himawan juga mengatakan kalau sebenarnya tidak ada referensi yang sama persis terkait Bank Tanah di Indonesia.
“Di negara lain praktik Bank Tanah itu bermacam-macam, ada yang fokus kepada properti, ada yang fokus pada pertanian,” tuturnya.
“Kalau kita ada general land banking yang bisa untuk berbagai kepentingan. Bank Tanah ini sifatnya sebagai land keeper, atau lembaga yang menghimpun tanah-tanah, lalu merencanakan, mengembangkan, memanfaatkan, dan mendistribusikan,” tambahnya.
Adapun tujuannya adalah untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah serta kepentingan reforma agraria minimal 30 persen.
Artinya Bank Tanah juga hadir untuk kepentingan rakyat, di mana saat ini ketimpangan kepemilikan tanah sangat tinggi karena banyak dimiliki korporasi.
“Jadi nanti dari 30 persen tersebut akan diberikan kepada reforma agraria dan MBR, sehingga Bank Tanah bisa merencanakan kawasan yang cocok untuk industri, pertanian, dan pemukiman,” jelas Himawan.
Bagaimana Data & Backlog Perumahan Saat Ini?
Khalawi menjelaskan pengadaan lahan perumahan harus melibatkan Kementerian PUPR.
“Sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah no. 64 tahun 2021, pengadaan lahan perumahan oleh Badan Bank Tanah, harus melibatkan Kementerian PUPR (yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Perumahan) di dalam proses pengadaan lahan perumahan mulai dari perencanaan,” jelasnya.
Pengadaan tanah yang akan dimanfaatkan untuk lahan perumahan tersebut perlu menjadi prioritas oleh Badan Bank Tanah agar permasalahan backlog perumahan yang meningkat bisa teratasi.
“Pokok permasalahan backlog perumahan bukan hanya pada kuantitas jumlah rumah yang terbangun, tetapi lebih kepada jumlah kebutuhan rumah yang layak terutama bagi MBR,” tambah Khalawi.
Adapun jumlah kebutuhan rumah tersebut juga dipengaruhi dengan ketersediaan tanah yang memenuhi kriteria untuk dibangun perumahan.
Hingga saat ini, Kementerian PUPR belum memiliki badan pengadaan lahan perumahan.
Khalawi memaparkan, data pengadaan lahan Perumahan Kementerian PUPR sendiri berasal dari data tanah kepemilikan Pemerintah Daerah.
Selain itu, didapat dari kepemilikan Pemerintah Pusat (Aset Kementerian PUPR/Aset Pengelola Barang (Kementerian Keuangan) dan tanah milik masyarakat/pengembang (dalam hal perumahan umum, perumahan swadaya, maupun perumahan berbasis komunitas).
Upaya Bank Tanah Meningkatkan Pertumbuhan Perumahan
Pengembangan tanah yang dilakukan oleh Bank Tanah meliputi penyiapan tanah untuk kegiatan perumahan dan kawasan permukiman.
Hal tersebut tercantum pada PP No. 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, Pasal 11 huruf a.
“Dengan demikian kegiatan perumahan dan kawasan permukiman merupakan prioritas teratas Badan Bank Tanah. Kehadiran Bank Tanah sendiri diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan kinerja perumahan,” harap Khalawi.
Khalawi juga menambahkan kalau kebutuhan lahan perumahan untuk MBR dapat terbantu oleh kehadiran Badan Bank Tanah.
Namun yang perlu dikendalikan adalah pembangunan perumahan MBR yang tidak terencana dengan baik sehingga menumbuhkan kawasan kumuh baru.
“Mengingat akan terjadi kawasan-kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan kurang tersedianya lahan untuk menyediakan fasilitas prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang dibutuhkan untuk terwujudnya hunian yang layak dan berkelanjutan,” ungkap Khalawi.
Apakah Kehadiran Bank Tanah Dapat Memperbanyak Lahan bagi Perumahan?
Pemerintah berharap Bank Tanah dapat memperbanyak lahan yang diperuntukkan bagi perumahan.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah no. 64 tahun 2021 yang menyebutkan bahwa Bank Tanah mempunyai kewenangan
- melakukan penyusunan rencana induk;
- membantu memberikan kemudahan berusaha/persetujuan;
- melakukan pengadaan tanah; dan
- menentukan tarif pelayanan.
Empat kewenangan ini akan memberikan kemudahan dalam penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan bagi MBR.
Selain itu, sesuai ketentuan di dalam Undang-Undang no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasal 180 dan Peraturan Pemerintah no. 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar, dapat dilakukan penegakan hukum atas tanah-tanah telantar sehingga dapat dioptimalkan untuk mendukung penyediaan kebutuhan lahan infrastruktur dalam hal ini lahan perumahan.
Dapatkah Bank Tanah Menguntungkan MBR?
Selain penjelasan dari Kementerian PUPR dan ATR/BPN, 99.co Indonesia juga menanyakan pendapat Mohammad Solikin, Wakil Ketua Umum Apersi seputar Bank Tanah.
Mohammad Solikin mendukung kehadiran Bank Tanah di Indonesia, karena menurutnya hal ini dapat menjadi cara untuk mengurangi mafia tanah.
“Bagus, bisa menjadi solusi mengurangi mafia tanah,” papar Khawali, Jumat (18/6/2021).
Menurutnya, kehadiran Bank Tanah dapat membuat pengembang memiliki bank tanahnya sendiri.
Bahkan ia juga mendukung keberadaan Bank Tanah swasta dan tidak perlu dihapus.“Agar ada keseimbangan dan sinergi bersama,” tambahnya.
Dengan adanya Bank Tanah, Mohammad Solikin berpendapat bisa memperbanyak lahan tanah bagi perumahan.
“Jika lahan sudah disiapkan pemerintah tentunya harga tanah sudah pasti sehingga proyeksi cashflow lebih lancar,” tutupnya.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Properti & Managing Partner Leks&Co, Eddy M. Leks juga mengutarakan pendapatnya.
“Sejauh pemahaman saya, Bank Tanah mempunyai cakupan kewenangan yang luas, bukan hanya pada industri perumahan,” ujar Eddy M. Leks, Rabu (23/06/2021).
Salah satunya adalah kepentingan umum yang meliputi penataan permukiman kumuh perkotaan dan perumahan untuk MBR.
Sementara, pemerataan ekonomi meliputi pengembangan rumah MBR. “Dilihat dari segi fungsinya, Bank Tanah berfungsi mengelola tanah di mana aspek pengembangan tanah masuk di dalamnya,” paparnya.
Pengembangan tanah tersebut meliputi penyiapan tanah untuk kegiatan perumahan dan kawasan permukiman, peremajaan kota, kawasan terpadu, konsolidasi lahan, infrastruktur, dan lainnya.
“Jadi, fokus Bank Tanah bukan hanya pada industri perumahan. Selain itu, terlihat bahwa pada industri perumahan, Bank Tanah akan lebih mengutamakan perumahan untuk MBR, bukan untuk non MBR,” imbuhnya.
Lalu apakah menurut Eddy kehadiran Bank Tanah dapat merugikan MBR?
“Di dalam penjelasan peraturan pemerintah, dapat dilihat bahwa kehadiran badan Bank Tanah adalah bagian dari upaya pemerintah membenahi sektor agraria,” jelas Eddy.
Menurutnya hal itu terkait dengan pengelolaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah dan reforma agraria.
Kelembagaan Bank Tanah juga disebut untuk meningkatkan tata kelola pertanahan di Indonesia dan penciptaan lapangan kerja.
“Jadi, tujuannya positif. Tinggal dilihat nanti apakah badan Bank Tanah bekerja dan berfungsi sesuai tujuan diciptakannya badan tersebut. Dan ini membutuhkan waktu untuk menjawab, apakah kehadiran badan Bank Tanah senyatanya bermanfaat atau tidak bagi masyarakat,” ungkap Eddy.
Selain itu, Eddy menilai kalau kehadiran Bank Tanah tidak merugikan MBR. “Saya tidak melihat bahwa kehadiran badan Bank Tanah dapat merugikan MBR,” pungkasnya.
Bank Tanah Berpotensi Menimbulkan Konflik?
Namun, hal berbeda diutarakan oleh Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Menurutnya, kehadiran Bank Tanah justru akan memperparah ketimpangan, potensi konflik tanah, dan mendorong monopoli segelintir pihak.
Wahyu berpendapat ada beberapa persoalan mendasar mengapa kehadiran Bank Tanah dapat berpotensi terjadinya konflik.
“Secara regulasi ini dipaksakan melalui omnibus law, (bermasalah secara prosedur dan inkonstitusional secara substansi), banyak bertabrakan bahkan dengan UUD 1945. Kemudian lahir turunannya PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah,” papar Wahyu, Selasa (15/6/2021).
Selain itu Wahyu menambahkan kalau regulasi dalam Bank Tanah mengadopsi azas domein verklaring (tanah milik negara) dan menyelewengkan hak menguasai dari negara.
“Penting diingat bahwa hak menguasai negara tidak sama dengan hak memiliki negara, ini ditegaskan pada putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK No. 50/PUUX/ 2012; dan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010,” tambahnya.
Selain itu, klaim sepihak tentu akan banyak menimbulkan konflik.
Menurutnya, MBR justru akan makin sulit aksesnya, terlebih Bank Tanah kemungkinan juga dikelola swasta, sehingga kecenderungan monopoli akan meningkat.
WALHI mencatat ada 61,46 persen daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan migas.
Ketimpangan yang sangat tinggi tersebut ditegaskan data rasio penguasaan lahan BPS tahun 2013 yang mencapai angka 0,68.31.
“Artinya 1 persen penduduk Indonesia menguasai 68 persen lahan,” jelas Wahyu.
Bagaimana pendapat Sahabat 99 mengenai Bank Tanah di Indonesia?
Apakah kehadirannya dapat menguntungkan bagi para MBR?
Semoga informasi ini bermanfaat untuk Sahabat 99, ya.
Simak juga artikel menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Sedang mencari perumahan impian di Yogyakarta?
Kunjungi 99.co/id dan temukan berbagai pilihan perumahan seperti di Barsa City Yogyakarta.
***
Penulis Utama: Nita Hidayati
Editor: Mukhammad Iqbal
Penanggung Jawab: Tiara Syahra
Tim Penulis: