Sandang, pangan, papan. Dari zaman dahulu hingga sekarang, manusia tidak akan bisa hidup dengan nyaman jika tidak memiliki tiga hal tersebut. Namun, dengan harga rumah yang semakin tinggi, bagaimana caranya seseorang dapat hidup nyaman sekarang ini?
Bagi banyak orang di Indonesia, memiliki rumah adalah sebuah kemewahan yang tak akan pernah mereka gapai.
Data dari Badan Pusat Statistik di tahun 2019 menuliskan bahwa sekitar 20% keluarga di Indonesia masih belum memiliki rumah.
Hal itu berarti sekitar 54 juta orang di Indonesia yang belum terpenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya karena tidak memiliki sebuah tempat tinggal.
Alasan utama mengapa mereka tidak memiliki rumah adalah karena tingginya harga properti dan tanah di Indonesia.
Masalah tersebut menjadi semakin parah ketika pandemi muncul di Indonesia sejak awal tahun 2020 hingga sekarang.
Karena adanya pandemi, semakin banyak orang di Indonesia menjadi pengangguran karena mengalami PHK.
Hal ini juga berpengaruh pada sektor properti di Indonesia, semakin banyak orang yang tidak mampu untuk membeli rumah dengan harga tinggi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, muncul program rumah DP 0% yang dibuat oleh Bank Indonesia pada 1 Maret 2021.
Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat tidak perlu lagi mengumpulkan uang banyak demi membayar biaya DP rumah yang mahal.
Namun, apakah kebijakan rumah DP 0% benar-benar berhasil di dunia nyata?
Peraturan Relaksasi LTV/FTV 100% dari BI
Kebijakan rumah DP 0% merupakan bagian dari peraturan Relaksasi Rasio Loan to Value/Financing to Value dari BI untuk mempermudah kredit pembiayaan properti masyarakat yang dibuat oleh BI.
Dilansir dari kompas.com (18/2/2021) Gubernur BI, Perry Wijayanto, menyebutkan bahwa relaksasi untuk kredit properti ini dibuat untuk memulihkan sektor properti Indonesia.
“Selain itu, memperhatikan bahwa sektor tersebut (properti) memiliki backward dan forward linkage (keterkaitan ke depan) yang tinggi terhadap perekonomian,” ucap Perry.
Cara kerja program ini adalah Bank Indonesia akan memberlakukan relaksasi rasio loan to value/financing to value atau LTV/FTV untuk kredit pembiayaan properti maksimal 100 persen.
Dengan demikian, calon konsumen dapat membeli properti tanpa harus membayar uang muka atau down payment.
Program ini berjalan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 Tentang Rasio Loan to Value untuk kredit properti.
Dalam peraturan tersebut, tertulis bahwa ada penyesuaian batasan rasio LTV/FTV untuk kredit properti atau pembiayaan properti.
Penyesuaian batas tersebut adalah paling tinggi 100% untuk bank yang memenuhi persyaratan rasio non performing loan/non performing financing.
Bank yang memenuhi persyaratan harus memiliki rasio NPL/NPF bruto kurang dari 5%.
Sementara itu, terdapat beberapa batasan yang diberikan untuk bank yang tidak memenuhi persyaratan rasio NPL/NFL, berikut adalah batasannya:
- Rumah tipe >70: paling tinggi 95% untuk fasilitas pertama dan paling tinggi 90% untuk fasilitas kedua dan seterusnya.
- Rumah tipe 21-70: maksimal 95% untuk fasilitas pertama.
- Rumah tipe <21: paling tinggi 100% untuk fasilitas pertama dan paling tinggi 90% untuk fasilitas kedua dan seterusnya.
Untuk dapat menjalankan program ini, perbankan akan membiayai properti yang dibeli konsumen dengan memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/KPA).
Pengaruh Relaksasi LTV/FTV 100% dari BI di Indonesia
Pada 1 Maret 2021, akhirnya BI mengeluarkan kebijakan relaksasi LTV/FTV 100% yang diharapkan dapat membantu masyarakat membeli rumah atau properti.
Setelah muncul kebijakan ini, akhirnya masyarakat dapat dengan mudah membeli rumah tanpa terbebani dengan biaya DP yang tinggi.
Semua kalangan masyarakat pun bisa menikmati program ini karena BI langsung memberikan anggaran pada sektor perbankan Indonesia.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, menyebutkan peraturan tersebut telah ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia.
“Penyesuaian kebijakan tersebut dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko,” ujar Erwin dilansir dari cnnindonesia.com (2/3/2021).
Erwin menyatakan kebijakan ini bersifat akomodatif dan diperlukan demi mendorong sektor perbankan menjalani fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas.
Selain itu, kebijakan ini juga mampu mendukung pemulihan pada sektor terkait yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perekonomian nasional.
Sektor perbankan juga mengalami dampak baik karena keberadaan program ini.
BI menyebutkan terdapat kenaikan pengajuan KPR berkat keberadaan program relaksasi kredit pembiayaan properti dan kendaraan.
Dilansir dari kompas.com (7/4/2021), Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Yanti Setiawan mengatakan program ini berhasil mendongkrak permintaan kredit pemilikan rumah.
“Dengan adanya modifikasi penerapan ketentuan ini, beberapa bank khususnya bank-bank Himbara (Himpunan Bank Negara) menunjukan adanya suatu peningkatan dari aplikasi kredit KPR, antara 6,5 sampai 40 persen secara month to month di bulan Maret ini,” ujar Yanti.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa adanya dampak positif dari stimulus yang diberi BI untuk meningkatkan kredit perbankan.
Yanti menyebutkan respons perbankan mengenai stimulus dari BI ini cukup bervariasi.
Ada beberapa bank yang menyatakan akan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan LTV.
Namun, terdapat pula beberapa bank yang tidak berencana mengubah ketentuan LTV dengan alasan mempertimbangkan tingkat risiko bank.
Masalah dan Risiko Program Rumah DP 0%
Meski dianggap dapat memperbaiki ekonomi negara, nyatanya muncul beberapa masalah terkait program ini.
Masalah tersebut di antaranya adalah korupsi lahan dan risiko kredit macet.
Contoh masalah korupsi lahan adalah korupsi pengadaan tanah Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur yang akan digunakan untuk program Rumah DP 0% Pemprov DKI.
Korupsi tersebut dilakukan oleh Direktur PT Adonara Propertindo, Tommy Adrian yang kemudian ditangkap oleh KPK pada tanggal 14 Juni 2021.
Dilansir dari liputan6.com (14/6/2021), KPK menduga perbuatan ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp152 miliar.
Kasus ini terjadi karena adanya pengadaan tanah yang melawan hukum tanpa ada kajian terhadap kelayakan objek tanah, tidak adanya kajian appraisal, dan tanpa dukungan kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait.
Masalah lain yang bisa ditemukan dari program ini adalah risiko kredit macet ketika anggaran dari pemerintah dan BI yang disalurkan pada perbankan sudah habis atau hilang.
Dari kedua masalah tersebut, kemudian muncul sebuah pertanyaan mengenai bagaimana cara pemerintah mengatasi hal tersebut demi membuat program ini berjalan lancar.
Untuk lebih memahami masalah ini, tim 99.co Indonesia mencoba untuk mengontak pihak yang terlibat dalam program rumah DP 0%, yakni Bank Indonesia dan Dirjen Pembiayaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sayangnya, Bank Indonesia dan Dirjen Pembiayaan Kementerian PUPR tidak memberikan tanggapan untuk permintaan wawancara dari 99.co Indonesia mengenai permasalahan rumah DP 0%.
Tidak diketahui bagaimana strategi Bank Indonesia dan Kementerian PUPR dalam menyediakan lahan untuk pembangunan rumah serta strategi untuk mengantisipasi kredit macet yang berisiko muncul dari program ini.
Selain memiliki cukup banyak masalah dan risiko, kebijakan ini juga bertentangan dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2019 tentang BP2BT.
Dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2019 tentang BP2BT, tertulis bahwa:
“(1) Uang muka kepemilikan Rumah Tapak Umum dan Sarusun ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari harga Rumah Tapak Umum atau Sarusun.
(2) Pemohon menyediakan uang muka sebagaimana dimaksud ayat (1) sebesar 1% (satu persen) dari harga Rumah Tapak Umum atau Sarusun.”
Berdasarkan dari peraturan tersebut, uang muka atau down payment diharuskan paling kecil 1 persen dalam pembelian rumah.
Tentunya hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 Tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti yang membolehkan pembayaran uang muka 0 persen.
Pihak 99.co Indonesia telah berusaha menanyakan permasalahan ini kepada pihak BI serta PUPR, tetapi baik BI ataupun PUPR tidak memberikan balasan atau pernyataan.
Pada akhirnya, kebijakan rumah DP 0% ini berhasil dilakukan oleh Bank Indonesia dan kesuksesannya pun dapat terlihat dari peningkatan pengajuan KPR dari masyarakat.
Namun, kurangnya tanggapan serta strategi untuk mengatasi banyaknya masalah yang timbul dari kebijakan ini dapat membuat kebijakan rumah DP 0% menjadi tidak bekerja secara efektif dalam waktu panjang.
***
Penulis Utama: Shafira Chairunnisa
Editor: Elmi Rahmatika
Penanggung Jawab: Tiara Syahra
Tim Penulis:
Artikel ini merupakan rangkaian liputan khusus Tim Berita 99.co Indonesia mengenai Rumah DP 0%