Berita Berita Properti

Tantangan Bank Tanah Mewadahi Solusi Masyarakat Punya Rumah Murah dan Layak

5 menit

Kebutuhan manusia akan tanah dan rumah layak adalah hal krusial, berlaku dari dulu hingga sekarang. 

Gabriel Chevallier pun mengamini. Dalam Clochemerle Babylon (1954), jurnalis dan guru seni asal Lyon, Prancis itu mengatakan: “Hasrat untuk memiliki hal-hal fisik (jasadiah) mendingin dengan cepat, sedangkan keinginan untuk memiliki tanah tak bakal pernah sirna dari hati manusia.” 

Ironisnya, tak semua orang punya kemampuan memiliki tanah atau rumah sendiri. 

Dalam situasi pandemi seperti sekarang, khususnya ketika pemerintah kembali menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), para tunawisma menjadi kelompok paling tak diuntungkan.

“Tidur di Tanah Abang bertiga bareng, ‘kan. Terus di situ juga cari makan di jalan. Ada yang bagi sembako kami kejar, yang bagi-bagi makan juga kami kejar,” kata Fahmi, seorang tunawisma, sebagaimana dilaporkan Kompas TV, Kamis (23/4/2021).

Hak Warga Negara Mendapatkan Rumah dan Lingkungan Layak Belum Terpenuhi

rumah

Fahmi tidak sendiri. Di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, orang-orang yang tidur menggelandang di emperan toko telah menjadi pemandangan rutin. 

Mereka terpaksa menjalaninya karena tidak punya tempat tinggal atau tidak mampu bayar sewa kontrakan. 

Selama pandemi, para tunawisma bertahan dengan mengandalkan para dermawan yang membagi-bagikan sembako serta dapur umum yang menyediakan makanan gratis. 

Kondisi di atas menyingkap persoalan lama yang mungkin sering kali kita abaikan: betapa banyak orang yang tidak punya tempat hunian layak, bahkan sekadar atap untuk melindungi diri dari dinginnya malam dan teriknya sinar matahari.

Persoalan tak punya hunian tidak hanya dialami para tunawisma di ibu kota, tapi juga menimpa para korban penggusuran di berbagai daerah. 

Riset yang dilakukan Rujak Center for Urban Studies (2020) menyebut bedeng sempit berukuran 6 meter persegi di Kampung Tambakrejo, Semarang, Jawa Tengah, diisi oleh 4 orang.

Adapun 97 kepala keluarga yang menghuni kamar-kamar sempit itu adalah warga setempat yang rumahnya digusur demi proyek pembuangan lumpur normalisasi Banjir Kanal Timur.

Sementara di Bandung, Jawa Barat, 61 warga korban gusuran proyek Rumah Deret di Tamansari terpaksa tinggal berdesakkan dalam sebuah ruangan yang ukurannya tidak lebih dari 14×17 meter persegi.

Situasi tersebut timbul karena banyak hal, salah satunya pembangunan yang masif dan tidak berpihak. 

“Orang biasa seperti kita akan selalu mati selagi kita hidup, tanpa memiliki apa-apa. Andaikan saja kita punya tanah sendiri, segalanya pasti berbeda,” demikian tulis Leo Tolstoy dalam cerita pendeknya yang terkenal, Berapa Luaskah Tanah yang Dibutuhkan Seseorang.

Realitas ini bukan lagi kabar burung bagi kalangan yang termarginalkan, melainkan fakta dan masih terjadi hingga saat ini. 

Padahal, dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah disebutkan bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat.

Sebab itu, setiap warga negara punya hak untuk mendapatkan rumah yang layak, aman, damai, dan bermartabat, serta hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat.

Bank Tanah, Solusi Penyediaan Lahan Hunian Terjangkau dari Pemerintah

bank tanah

Carut-marut kepemilikan hunian itu turut menjadi perhatian pemerintah.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang pemerintah tawarkan adalah membuat Bank Tanah.

Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pemerintah merancang klausul Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja.

Ketentuan mengenai Bank Tanah ini tercantum dalam 10 pasal, mulai dari Pasal 125 hingga Pasal 135 UU Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November tahun lalu. 

Enam bulan setelah beleid itu diteken, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP 64 Tahun 2021).

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Himawan Arief, Bank Tanah sebagai land keeper atau lembaga pengendali tanah telantar di Indonesia memiliki visi untuk mendistribusikan tanah bagi kepentingan umum dan reforma agraria.

“Saat ini, ketimpangan kepemilikan tanah sangat tinggi karena banyak dimiliki korporasi. Jadi, dari 30% tanah telantar yang dikumpulkan akan diberikan kepada reforma agraria dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),” ujar Himawan Arief kepada 99.co Indonesia, Jumat (18/6/2021).

Melalui Bank Tanah, pemerintah dapat membeli atau mengambil alih tanah yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.

“Di sini masyarakat berpenghasilan rendah tidak bisa membeli rumah. Adanya Bank Tanah nanti bisa meminimalisasi charge tanah,” tambahnya.

Mendorong Kepentingan Penyediaan Rumah di Perkotaan bagi MBR

kawasan perumahan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. 



Hanya, untuk merealisasikan amanat di atas, pemerintah masih dihadapkan pada realita tingginya harga tanah di perkotaan, sementara lahan yang tersedia semakin terbatas.

“Terbatasnya lahan di kota dan mahalnya harga tanah membuat rumah tangga di daerah perkotaan memperoleh bangunan tempat tinggal dengan cara membeli, baik dari pengembang maupun bukan pengembang,” ucap Direktur Jenderal (Ditjen) Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Khalawi Abdul Hamid kepada 99.co Indonesia.

Maka, sambung Khalawi, intervensi Bank Tanah diperlukan agar memberi kemudahan akses bagi masyarakat, terutama MBR, untuk memiliki rumah layak.

“Bank Tanah diharapkan dapat memperbanyak lahan yang diperuntukkan bagi perumahan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 PP 64/Tahun 2021 yang menyebut bahwa Bank Tanah mempunyai kewenangan melakukan penyusunan rencana induk, membantu memberikan kemudahan persetujuan, melakukan pengadaan tanah, dan menentukan tarif pelayanan,” jelasnya.

Minimalisasi Pertumbuhan Kawasan Kumuh

rumah kumuh

Mantan Wakil Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat itu juga menuturkan, kondisi pembangunan perumahan MBR yang kerap tidak terencana dengan baik bisa dihindari dengan kehadiran Bank Tanah.

Hal tersebut selaras dengan bunyi beleid aturan PP No. 64 tahun 2021 Pasal 11 huruf a, yang mengatakan bahwa Bank Tanah memiliki kewenangan dalam penyiapan tanah untuk kegiatan perumahan dan kawasan permukiman.

“Pembangunan yang tidak terencana dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru mengingat akan muncul kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan kurang tersedianya lahan untuk menyediakan fasilitas prasarana, sarana, dan utilitas (PSU),” tukasnya.

Dengan demikian, Khalawi yakin bahwa kegiatan perumahan dan kawasan kumuh merupakan prioritas teratas Bank Tanah.

Demi memenuhi pengadaan lahan perumahan dan perencanaan tersebut, Khalawi mengimbau agar Kementerian PUPR dilibatkan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat (1) PP. 64 Tahun/2021. 

Benarkah Bank Tanah Hadir untuk Mewadahi Kepentingan Swasta?

kapitalisme

Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Hari Ganie menganggap Bank Tanah adalah ide yang baik, mengingat tujuan pembentukannya untuk mengatasi kelangkaan tanah akibat harga tanah yang terus meroket.

Meski begitu, Hari mengingatkan agar Bank Tanah fokus pada kepentingan umum dan tidak perlu melibatkan kepentingan pengembang. 

Alasannya, jelas Hari, pengembang atau swasta sudah menerapkan skema Bank Tanah sejak lama, terutama pada proyek berskala besar di atas 100-500 hektare, seperti proyek BSD, Alam Sutera, Summarecon, dan lainnya.

“Jangan cawe-cawe perumahan komersial. Biarkan perumahan komersial mengikuti mekanisme pasar. Jadi kalau mereka beli tanah yang mungkin mahal ya terserah, toh mereka bisa jual mahal juga, ‘kan?” 

Kekhawatiran REI bahwa Bank Tanah bakal lebih berpihak kepada pengembang turut dirasakan Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni S. Maulana.

“Jika melihat tren pembangunan ekonomi hari ini, Bank Tanah akan cenderung berpihak pada pengusaha,” ucap Roni kepada 99.co Indonesia.

Ia menjelaskan, sekira tahun 2017-2018, Kementerian ATR/BPN telah melakukan inventarisasi tanah telantar seluas 4 juta hektare.

Mayoritas tanah tersebut berstatus konflik karena telanjur dimanfaatkan masyarakat akibat lebih dulu ditelantarkan perusahaan.

Sekarang, dengan adanya Bank Tanah, Menteri ATR/BPN selaku ketua komite Bank Tanah memiliki wewenang untuk “memutihkan” tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang statusnya telantar.

Dengan begitu, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PP No. 64/2021, tanah-tanah tersebut dapat kembali dikuasai oleh perusahaan atau diberikan kepada perusahaan lainnya.

“Bayangkan jika 4 juta hektare HGU telantar kembali diaktifkan, bagaimana nasib orang dan desa atau kampung di dalamnya? Itu yang harus kita pikirkan,” tutup Roni.

Sebenarnya, niat Bank Tanah untuk memberi solusi permasalahan kepemilikan rumah layak bagi MBR memang sudah ada.

Namun, apakah nanti realisasinya bisa tercapai dengan baik, biarlah waktu yang menentukan.

Semoga tulisan ini bermanfaat untukmu ya, Sahabat 99.

Jangan lupa pantau terus artikel menarik lainnya lewat Berita 99.co Indonesia.

Sedang mencari rumah dijual di Mengwi?

Cek saja pilihannya hanya di 99.co/id.

***

Penulis Utama: Gadis Saktika

Editor: Mukhammad Iqbal

Penanggung Jawab: Tiara Syahra 

Tim Penulis:




Gadis Saktika

Gadis Saktika adalah Content Writer di 99 Group yang sudah berkarier sebagai penulis dan wartawan sejak tahun 2019. Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI ini senang menulis tentang etnolinguistik, politik, HAM, gaya hidup, properti, dan arsitektur.
Follow Me:

Related Posts